UPAYA JEPANG DALAM MEMPERJUANGKAN KLAIM ATAS PULAU KURIL SELATAN DARI RUSIA

Author: Aulia Effryanti Maulidani Nasution

A.   LATAR BELAKANG

      Benua Asia hingga saat ini masih diwarnai oleh sengketa perbatasan, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang berbentuk kepulauan. Walaupun kemerdekaan negara yang bersengketa telah diakui baik secara de facto dan de jure, namun batas kedaulatan keduanya masih belum jelas seiring dengan batas wilayah teritorial mereka yang saling tumpang tindih dan konfliktual. Bahkan hampir seluruh negara di kawasan Asia Timur terlibat dalam suatu isu perbatasan, seperti sengketa Pulau Senkaku/Diayou antara China, Taiwan, dan Jepang, dan sengketa Pulau Dokdo/Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan. Sengketa bukan hanya terjadi antar negara di intra regional, melainkan juga terjadi antar regional, seperti sengketa perbatasan maritim Jepang dan Rusia atas pulau Kuril Selatan.

     Sengketa Pulau Kuril Selatan menjadi agenda penting dalam hubungan bilateral antara Jepang dan Rusia. Adapun pulau yang menjadi wilayah sengketa adalah pulau Etorofu seluas 3.138 km2, pulau Kunashiri seluas 1.500 km2, pulau Shikotan seluas 255 km2, serta kelompok pulau Habomai yang terdiri dari pulau Akiyuri, Harukaru, Shibotsu, Suisho, dan Yuri dengan total luas 102 km2.[1] Sengketa ini bermula dari Perang Dunia II. Pasca pembatalan Pakta Kenetralan pada 1945, Rusia, dengan dukungan Amerika Serikat dan Inggris melalui Perjanjian Yalta, menganeksasi Kepulauan Kuril dan pulau Sakhalin Selatan hingga 20 September 1945.[2]

    Sengketa kepemilikan pulau Kuril Selatan semakin rumit dengan ambiguitas Perjanjian San Francisco pada 1951 yang dibuat pasca Jepang menyerah dari Sekutu. Sebagai tanda penyerahan wilayah kekuasaan Jepang kepada Sekutu, melalui perjanjian ini, Jepang melepaskan hak dan klaimnya atas Kepulauan Kuril tanpa menentukan kepada siapa ia menyerahkan pulau tersebut. Selain itu, Kepulauan Kuril yang dimaksud Jepang dalam Perjanjian ini ialah kawasan “Chishima Retto” atau “Pulau Seribu”, yakni terbentang antara bagian Utara Etorofu hingga Tanjung Lopatka di Semenanjung Kamchatka. Adapun kelompok pulau Habomai dan pulau Shikotan menurut Jepang merupakan bagian dari Tanjung Nosappu di Hokkaido. Sedangkan menurut Rusia, Kepulauan Kuril ini mencakup pulau-pulau di antara Tanjung Lopatka hingga pantai Shibetsu, Hokkaido.[3]

   Selain perbedaan penafsiran tersebut, Jepang semakin terdorong untuk memperjuangkan kepulauan tersebut karena hasil perikanan dan cadangan alam yang terkandung di dalamnya. Wilayah ini diketahui mengandung bahan tambang seperti titanium, magnetit, nikel, tembaga, krom, vanadium, dan niobium yang bermanfaat bagi perindustrian elektronik Jepang.[4] Hal ini terutama mengingat banyaknya perusahaan elektronik Jepang yang telah mendunia, seperti Sony, Casio, Hitachi, Toshiba, Panasonic, Fujitsu, Canon, Sanyo, Yamaha, dsb. Selain itu, perairan di sekitar pulau Kuril Selatan menghidupi berbagai makhluk laut seperti salmon, ikan kod, kepiting raksasa, kerang, dsb. 80% panen rumput laut Jepang didapatkan dari perairan di pulay Kunashiri, Shikotan, dan Habomai.[5] Akumulasi kepentingan inilah yang mendorong negara untuk melakukan berbagai upaya memperjuangkan pulau ini.

B.   PERTANYAAN MASALAH

  1. Bagaimana upaya Jepang dalam merebut pulau Kuril Selatan?
  2. Apa saja tantangan yang dihadapi Jepang dalam upayanya tersebut?

C.   PEMBAHASAN

      Upaya Jepang untuk mempertahankan pulau Kuril Selatan dimulai dengan klaim yang berdasarkan perjanjian-perjanjian terdahulu. Rusia dan Jepang tidak memiliki batas teritorial resmi hingga tahun 1855. Perjanjian Shimoda atau Perjanjian Navigasi dan Delimitasi pada 7 Februari 1855 menjadi perjanjian pertama yang mendirikan perbatasan Jepang-Rusia di antara pulau Iturup/Etorofu dan pulau Uruppu. Sehingga, wilayah Jepang hanya mencakup bagian selatan kepulauan Kuril atau yang menjadi wilayah sengketa hingga saat ini. Sedangkan wilayah Rusia membentang di utara Kuril. Adapun pulau Karafuto/ Sakhalin dikuasai bersama oleh kedua negara. Pendirian perbatasan ini lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 2 Perjanjian Shimoda 1855.[6] Kekuasaan Jepang atas kepulauan Kuril secara keseluruhan semakin luas dengan perjanjian St. Petersburg 1875. Melalui perjanjian ini, Jepang menyerahkan hak penguasaan pulau Sakhalin kepada Rusia dengan syarat Rusia menyerahkan hak penguasaan atas kepulauan Kuril.[7]

       Perjanjian Portsmouth 1905 juga menjadi pendukung penting klaim Jepang atas pulau Kuril Selatan. Perjanjian ini mengatur peralihan kekuasaan pulau Sakhalin Selatan ke Jepang sebagai akibat kekalahan Rusia dalam perang antar keduanya pada 1904-1905. Perjanjian ini dapat mematahkan argumentasi Rusia bahwa Jepang mengambil alih wilayah utara (rangkaian kepulauan Kuril berdasarkan perjanjian 1875 dan bagian selatan Sakhalin) dengan cara kekerasan. Wilayah kepulauan Kuril telah menjadi milik Jepang sejak sebelum berlangsungnya perang hingga berakhir. Oleh karena itu, Jepang tidak pernah menggunakan jalur kekerasan dan intervensi terhadap wilayah kepulauan tersebut.[8] Justru Rusia yang menggunakan kekerasan dalam aneksasi kepulauan Kuril pada Perang Dunia II dan mengusir kebangsaan Jepang di pulau tersebut.

        Setelah menjadi aliansi dengan Amerika Serikat, Jepang juga melibatkan AS dalam menjaga perbatasan di wilayah sengketa. Sebelumnya, AS sebenarnya sudah terlibat dalam sengketa ini melalui pembentukan Perjanjian San Francisco 1951. Keterlibatan AS tersebut menguntungkan Jepang karena AS membuat perjanjian tersebut berdasarkan Deklarasi Postdam, bukan Perjanjian Yalta. Perjanjian San Francisco menyatakan bahwa kepulauan Kuril tidak diserahkan ke Uni Soviet, melainkan kepada negara-negara yang terlibat dalam perjanjian damai ini.[9] Hal ini tentu bertentangan dengan perjanjian Yalta yang mengakui kedaulatan Rusia atas pulau tersebut. Penolakan Uni Soviet terhadap perjanjian ini membuat klaimnya terhadap pulau ini sulit lantaran tidak adanya pengakuan internasional.

     Sejak perjanjian inilah, hubungan AS dan Jepang mengarah pada strategic partnership. Perjanjian Keamanan keduanya yang tercantum dalam Perjanjian San Francisco memberikan hak kepada basis militer AS untuk mendirikan pangkalan militer di Jepang, termasuk di wilayah sengketa demi menjaga negaranya dari ancaman militer negara lain. Meskipun AS tidak ikut mengklaim kedaulatan pulau Kuril Selatan sebagai bagian dari Sekutu, namun AS membantu Jepang dalam menjalankan The National Defense Program Guidelines (NDPG) tiap tahunnya untuk menjaga perbatasan Jepang melalui pelatihan militer dan kemampuan operasional lainnya baik darat, udara, hingga maritim. Hal ini dibuktikan ketika Perdana Menteri Rusia mengunjungi Pulau Kunashiri pada November 2010 dimana Jepang mendapat bantuan dari AS untuk memperbaharui alutsistanya.[10]

       Perdana Menteri Jepang juga di sisi lain telah memperjuangkan berbagai jalur diplomatik selama enam dekade. Namun, usaha tersebut selalu gagal dan jurang perbedaan di antara mereka semakin besar. Ketika Uni Soviet setuju untuk menyerahkan dua pulau terkecil di Kuril Selatan melalui Deklarasi Bersama Jepang-Uni Soviet tahun 1956, Jepang malah bersikukuh menginginkan keempat pulau sengketa. Pada 2016, Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang, menawarkan otoritas administrasi Rusia atas pulau Etorofu dan Kunashiri asalkan Rusia mau mengakui kedaulatan residual Jepang atas pulau tersebut. Sedangkan penyerahan dua pulau lainnya akan dipertimbangkan melalui kesepakatan lima hingga sepuluh tahun mendatang. Solusi ini membuat 14.400 penduduk Rusia dapat tetap tinggal di pulau Etorofu dan Kunashiri.[11] Jepang juga akan membuka akses ke kedua pulau tersebut bagi rakyatnya. Bahkan Jepang dan Rusia mendorong investasi dan aktivitas bersama dalam bidang akuakultur, pertanian hijau, pariwisata, sumber daya angin, dan pengurangan limbah.[12]

        Namun, Jepang juga dihadapkan pada berbagai tantangan dalam berbagai upayanya tersebut. Rusia setuju untuk menarik militernya di pulau sengketa asalkan Jepang lebih dahulu menarik pasukan AS di wilayah tersebut. Syarat tersebut tentu menimbulkan dilema bagi Jepang. Di satu sisi, ketika Jepang menarik pasukan AS lebih dahulu, Rusia tiba-tiba menyerang Jepang melalui wilayah sengketa. Di sisi lain, Jepang tentu tidak dapat dengan mudah menarik pasukan AS mengingat posisinya sebagai strategic partner AS di Asia. AS juga takut kehilangan partner Asianya dengan adanya rekonsiliasi antara Rusia dan Jepang. Hal ini akan mempengaruhi eksistensi militer AS di Jepang yang dimanfaatkan untuk menjaga kepentingannya di Asia Timur, seperti dalam perang antar korea.

            Selain itu, seberapa besar usaha Jepang mengambil cara damai, hal ini akan sia-sia jika Rusia kurang menyambut usaha tersebut. Sejak masa pemerintahan Vladimir Putin, Rusia seakan-akan menomorduakan kepentingan penyelesaian sengketa ini dalam hubungannya dengan Jepang.[13] Rusia malah lebih fokus pada penguatan kerjasama ekonomi dengan Jepang. Sejak pemulihan hubungan diplomatik Rusia-Jepang, keduanya memilih untuk mendekatkan hubungan melalui kerjasama ekonomi antar negara. Menurut penulis, keduanya berambisi untuk membuat pihak lainnya bergantung secara ekonomi sehingga setelah keadaan tersebut tercapai, pihak yang digantungkan mampu mengarahkan pihak yang bergantung. Di sisi lain, Rusia memiliki kepentingan minyak dan alutsista yang lebih penting. Seiring dengan terbatasnya pasokan minyak Rusia ke Eropa Barat, Rusia menargetkan Jepang, negara tetangganya, sebagai pelanggan dalam bisnis minyak dan alutsista miliknya dengan menawarkan harga yang lebih murah.[14]

       Terakhir, faktor sejarah memang sulit diabaikan oleh Rusia mengingat pulau Kuril Selatan merupakan bagian penting dari kejayaan Uni Soviet pada abad ke 20. Perjanjian Yalta yang mengesahkan kepemilikan kepulauan Kuril oleh Rusia tentu merupakan upah kerja keras setelah penderitaan empat dekade akibat agresi Jepang. Bagi Rusia, kedaulatan Jepang atas keempat pulau tersebut secara tidak langsung mengkhianati pengorbanan 12.000 tentara Uni Soviet yang gugur dalam peperangan melawan fasisme Jepang. Peringatan korban perang ini bahkan rutin dilakukan oleh pemerintah Rusia.[15]

        Atas argumentasi tersebut, perjuangan Jepang merebut pulau Kuril Selatan semakin sulit dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Usaha penyelesaian sengketa harus didasarkan pada keinginan kedua belah pihak untuk menciptakan perdamaian. Menurut penulis, melalui dialog budaya antar kedua negara, sengketa perbatasan ini akan semakin mudah diselesaikan seiring dengan munculnya pemahaman satu sama lain.


[1] S.M. Noor, Sengketa Laut Cina dan Kepulauan Kuril, (Makassar: Pustaka Pena Press, 2008), h. 54.

[2] Tsuyoshi Hasegawa, “Between War and Peace 1697-1985”, The Northern Territories Dispute and Russo-Japanese Relations, Vol. 1, (Berkeley: University of California Press, 1998), p. 28.

[3] Gregory L. Morris, “Japan, Russia and The “Northern Territories” Dispute: Neighbors in Search of a Good Fence”, Thesis of United Nations Naval Postgraduate School, (California, 2002), p. 1, 23.

[4] V.M. Dunichev, “Tin Potential of the Kuril Islands”, International Geology Review, Vol. 15, Issue 7, (1973). pp. 781-783, https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00206817309476075?needAccess=true&journalCode=tigr20 , accessed on 3rd June 2018

[5] Tsuyoshi Hasegawa, “Neither War nor Peace 1985-1998”, The Northern Territories Dispute and Russo-Japanese Relations, Vol. 2, (Berkeley: University of California Press, 1998), p. 528.

[6] Tsuyoshi Hasegawa, “Neither War nor Peace 1985-1998”, p. 515.

[7] Gregory L. Morris, “Japan, Russia and The “Northern Territories” Dispute: Neighbors in Search of a Good Fence”, p. 12-13.

[8] S.M. Noor, Sengketa Laut Cina dan Kepulauan Kuril, h. 60.

[9] Bruce A. Elleman, Michael R. Nichols, and Matthew J. Ouimet, “A Historical Reevaluation of America’s Role in the Kuril Islands Dispute”, Pacific Affairs, Vol. 71, No. 4, (1998-199), pp. 489-504.

[10] Kazushi Ueno, “Japan’s Defense Program Guidelines”, Strategy Research Project International Fellow”, (United States Army War College, 2013), p. 11.

[11] James D.J. Brown, “Abe’s 2016 Plan to Break the Deadlock in the Territorial Dispute with Russia”, The Asia-Pacific Journals, Vol. 14, Issue 4, (15th February 2016), https://apjjf.org/2016/04/Brown.html

[12] Dmitry Streltsov, “Russia-Japan Relations are Robust Irrespective of Island Impasses”, (4th October 2017), http://www.eastasiaforum.org/2017/10/04/russia-japan-relations-are-robust-irrespective-of-island-impasses/, accessed on 4th June 2018.

[13] Hiroshi Kimura, “Putin’s Policy toward Japan: Return of the Two Islands, or More?”, Demokratizatsiya, Vol. 9, No. 2, (2001), pp. 276-291.

[14] Peter William Richardson, “Russian Relations with Japan from 2000-2010: Enduring Obstacles, Limited Opportunities”, Dissertation of The Department of Political Science Northeastern University, (Massachusetts, 2010), pp. 306-310.

[15] James D.J. Brown, “Abe’s 2016 Plan to Break the Deadlock in the Territorial Dispute with Russia”.

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai
search previous next tag category expand menu location phone mail time cart zoom edit close